Selasa, 16 Februari 2010

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 1999
TENTANG
PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

1. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari sumber daya alam yang tidak ternilai harganya sehingga kelestariannya perlu dijaga melalui upaya pengawetan jenis;
2. bahwa berdasarkan hal tersebut diatas dan sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dipandang perlu untuk menetapkan peraturan tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dengan Peraturan Pemerintah. Mengingat : Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945;

1. Undang-undang Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823);
2. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299);
3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara 3419);
4. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3478);
5. Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3482);
6. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3556);
7. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3544);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3776).

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Pengawetan adalah upaya untuk menjaga agar keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya baik di dalam maupun di luar habitatnya tidak punah.
2. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya adalah upaya menjaga keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa agar tidak punah.
3. Lembaga Konservasi adalah lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dan atau satwa di luar habitatnya (ex situ), baik berupa lembaga pemerintah maupun lembaga non pemerintah.
4. Identifikasi jenis tumbuhan dan satwa adalah upaya untuk mengenal jenis, keadaan umum, status populasi dan tempat hidupnya yang dilakukan di dalam habitatnya.
5. Inventarisasi jenis tumbuhan dan satwa adalah upaya mengetahui kondisi dan status populasi secara lebih rinci serta daerah penyebarannya yang dilakukan di dalam dan di luar habitatnya maupun di lembaga konservasi.
6. Jenis tumbuhan atau satwa adalah jenis yang secara ilmiah disebut species atau anak-anak jenis yang secara ilmiah disebut sub-species baik di dalam maupun di luar habitatnya.
7. Populasi adalah kelompok individu dari jenis tertentu di tempat tertentu yang secara alami dan dalam jangka panjang mempunyai kecenderungan untuk mencapai keseimbangan populasi secara dinamis sesuai dengan kondisi habitat beserta lingkungannya.
8. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang kehutanan.

Pasal 2

Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa bertujuan untuk:

1. menghindarkan jenis tumbuhan dan satwa dari bahaya kepunahan;
2. menjaga kemurnian genetik dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa;
3. memelihara keseimbangan dan kemantapan ekosistem yang ada;

agar dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia secara berkelanjutan.

BAB II
UPAYA PENGAWETAN

Pasal 3

Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui upaya:

1. penetapan dan penggolongan yang dilindungi dan tidak dilindungi;
2. pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa serta habitatnya;
3. pemeliharaan dan pengembangbiakan.

BAB III
PENETAPAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA

Pasal 4

(1) Jenis tumbuhan dan satwa ditetapkan atas dasar golongan:

1. tumbuhan dan satwa yang dilindungi;
2. tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi.

(2) Jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a adalah sebagaimana terlampir dalam Peraturan Pemerintah ini.

(3) Perubahan dari jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi menjadi tidak dilindungi dan sebaliknya ditetapkan dengan Keputusan Menteri setelah mendapat pertimbangan Otoritas Keilmuan (Scientific Authority).

Pasal 5

(1) Suatu jenis tumbuhan dan satwa wajib ditetapkan dalam golongan yang dilindungi apabila telah memenuhi kriteria:

1. mempunyai populasi yang kecil;
2. adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam;
3. daerah penyebaran yang terbatas (endemik).

(2) Terhadap jenis tumbuhan dan satwa yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan upaya pengawetan.

Pasal 6

Suatu jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi dapat diubah statusnya menjadi tidak dilindungi apabila populasinya telah mencapai tingkat pertumbuhan tertentu sehingga jenis yang bersangkutan tidak lagi termasuk kategori jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).

BAB IV
PENGELOLAAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA SERTA HABITATNYA
Bagian Pertama
Umum

Pasal 7

Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan Pemerintah ini tidak mengurangi arti ketentuan tentang pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa pada kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam.

Pasal 8

(1) Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui kegiatan pengelolaan di dalam habitatnya (in situ).

(2) Dalam mendukung kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan kegiatan pengelolaan di luar habitatnya (ex situ) untuk menambah dan memulihkan populasi.

(3) Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di dalam habitatnya (in situ) dilakukan dalam bentuk kegiatan:

1. Identifikasi;
2. Inventarisasi;
3. Pemantauan;
4. Pembinaan habitat dan populasinya;
5. Penyelamatan jenis;
6. Pengkajian, penelitian dan pengembangannya.

(4) Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya (ex situ) dilakukan dalam bentuk kegiatan:

1. Pemeliharaan;
2. Pengembangbiakan;
3. Pengkajian, penelitian dan pengembangan;
4. Rehabilitasi satwa;
5. Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa.

Bagian Kedua
Pengelolaan dalam Habitat (In Situ)

Pasal 9

(1) Pemerintah melaksanakan identifikasi di dalam habitat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a untuk kepentingan penetapan golongan jenis tumbuhan dan satwa.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai identifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.

Pasal 10

(1) Pemerintah melaksanakan inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b, untuk mengetahui kondisi populasi jenis tumbuhan dan satwa.

(2) Inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi survei dan pengamatan terhadap potensi jenis tumbuhan dan satwa.

(3) Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat dalam pelaksanaan survei dan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.

Pasal 11

(1) Pemerintah melaksanakan pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf c, untuk mengetahui kecenderungan perkembangan populasi jenis tumbuhan dan satwa dari waktu ke waktu.

(2) Pemantauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui survei dan pengamatan terhadap potensi jenis tumbuhan dan satwa secara berkala.

(3) Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat dalam pelaksanaan survei dan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemantauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.

Pasal 12

(1) Pemerintah melaksanakan pembinaan habitat dan populasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf d, untuk menjaga keberadaan populasi jenis tumbuhan dan satwa dalam keadaan seimbang dengan daya dukung habitatnya.

(2) Pembinaan habitat dan populasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui kegiatan:

1. Pembinaan padang rumput untuk makan satwa;
2. Penanaman dan pemeliharaan pohon pelindung dan sarang satwa, pohon sumber makan satwa;
3. Pembuatan fasilitas air minum, tempat berkubang dan mandi satwa;
4. Penjarangan jenis tumbuhan dan atau populasi satwa;
5. Penambahan tumbuhan atau satwa asli;
6. Pemberantasan jenis tumbuhan dan satwa penggangggu.

(3) Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat untuk melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan habitat dan populasi tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.

Pasal 13

(1) Pemerintah melaksanakan tindakan penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf e, terhadap jenis tumbuhan dan satwa yang terancam bahaya kepunahan yang masih berada di habitatnya.

(2) Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui pengembangbiakan, pengobatan, pemeliharaan dan atau pemindahan dari habitatnya ke habitat di lokasi lain.

(3) Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat untuk melakukan tindakan penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.

Pasal 14

(1) Pemerintah melaksanakan pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf f, untuk menunjang tetap terjaganya keadaan genetik dan ketersediaan sumber daya jenis tumbuhan dan satwa secara lestari.

(2) Pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui pengkajian terhadap aspek-aspek biologis dan ekologis baik dalam bentuk penelitian dasar, terapan dan ujicoba.

(3) Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat melaksanakan kegiatan pengkajian, penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.

Bagian Ketiga
Pengelolaan di Luar Habitat (Ex Situ)

Pasal 15

(1) Pemeliharaan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf a dilaksanakan untuk menyelamatkan sumber daya genetik dan populasi jenis tumbuhan dan satwa.

(2) Pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi juga koleksi jenis tumbuhan dan satwa di lembaga konservasi.

(3) Pemeliharaan jenis di luar habitat wajib memenuhi syarat:

1. memenuhi standar kesehatan tumbuhan dan satwa;
2. menyediakan tempat yang cukup luas, aman dan nyaman;
3. mempunyai dan mempekerjakan tenaga ahli dalam bidang medis dan pemeliharaan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeliharaan jenis di luar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.

Pasal 16

(1) Pengembangbiakan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf b dilaksanakan untuk pengembangan populasi di alam agar tidak punah.

(2) Kegiatan pengembangbiakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan tetap menjaga kemurnian jenis dan keanekaragaman genetik.

(3) Pengembangbiakan jenis di luar habitatnya wajib memenuhi syarat:

1. menjaga kemurnian jenis;
2. menjaga keanekaragaman genetik;
3. melakukan penandaan dan sertifikasi;
4. membuat buku daftar silsilah (studbook).

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangbiakan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.

Pasal 17

(1) Pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (4) huruf c dilakukan sebagai uapaya untuk menunjang tetap terjaganya keadaan genetik dan ketersediaan sumber daya jenis tumbuhan dan satwa secara lestari.

(2) Kegiatan pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui pengkajian terhadap aspek-aspek biologis dan ekologis baik dalam bentuk penelitian dasar, terapan dan ujicoba.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.

Pasal 18

(1) Rehabilitasi satwa di luar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (4) huruf d dilaksanakan untuk mengadaptasikan satwa yang karena suatu sebab berada di lingkungan manusia, untuk dikembalikan ke habitatnya.

(2) Rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui kegiatan-kegiatan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyakit, mengobati dan memilih satwa yang layak untuk dikembalikan ke habitatnya.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rehabilitasi satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.

Pasal 19

(1) Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa di luar kawasan habitatnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf e dilaksanakan untuk mencegah kepunahan lokal jenis tumbuhan dan satwa akibat adanya bencana alam dan kegiatan manusia.

(2) Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui kegiatan-kegiatan:

1. memindahkan jenis tumbuhan dan satwa ke habitatnya yang lebih baik;
2. mengembalikan ke habitatnya, rehabilitasi atau apabila tidak mungkin, menyerahkan atau menitipkan di Lembaga Konservasi atau apabila rusak, cacat atau tidak memungkinkan hidup lebih baik memusnahkannya.

Pasal 20

(1) Pengelolaan di luar habitat jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah.

(2) Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat untuk melaksanakan kegiatan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 21

(1) Jenis tumbuhan dan satwa hasil pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18 dan Pasal 19 dapat dilepaskan kembali ke habitatnya dengan syarat:

1. habitat pelepasan merupakan bagian dari sebaran asli jenis yang dilepaskan;
2. tumbuhan dan satwa yang dilepaskan harus secara fisik sehat dan memiliki keragaman genetik yang tinggi;
3. memperhatikan keberadaan penghuni habitat.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelepasan kembali jenis tumbuhan dan satwa ke habitatnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.

BAB V
LEMBAGA KONSERVASI

Pasal 22

(1) Lembaga Konservasi mempunyai fungsi utama yaitu pengembangbiakan dan atau penyelamatan tumbuhan dan satwa dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya.

(2) Disamping mempunyai fungsi utama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Lembaga Konservasi juga berfungsi sebagai tempat pendidikan, peragaan dan penelitian serta pengembangan ilmu pengetahuan.

(3) Lembaga Konservasi dapat berbentuk Kebun Binatang, Musium Zoologi, Taman Satwa Khusus, Pusat Latihan Satwa Khusus, Kebun Botani, Herbarium dan Taman Tumbuhan Khusus.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Lembaga Konservasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.

Pasal 23

(1) Dalam rangka menjalankan fungsinya, Lembaga Konservasi dapat memperoleh tumbuhan dan atau satwa baik yang dilindungi maupun tidak dilindungi melalui:

1. pengambilan atau penangkaran dari alam;
2. hasil sitaan;
3. tukar menukar;
4. pembelian, untuk jenis-jenis yang tidak dilindungi.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh tumbuhan dan satwa untuk Lembaga Konservasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.

Pasal 24

(1) Dalam rangka pengembangbiakan dan penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa, Lembaga Konservasi dapat melakukan tukar menukar tumbuhan atau satwa yang dilindungi dengan lembaga sejenis di luar negeri.

(2) Tukar menukar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan dengan jenis-jenis yang nilai konservasinya dan jumlahnya seimbang.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tukar menukar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.

BAB VI
PENGIRIMAN ATAU PENGANGKUTAN TUMBUHAN DAN SATWA YANG DILINDUNGI

Pasal 25

(1) Pengiriman atau pengangkutan tumbuhan dan satwa dari jenis yang dilindungi dari dan ke suatu tempat di wilayah Republik Indonesia atau dari dan keluar wilayah Republik Indonesia dilakukan atas dasar ijin Menteri.

(2) Pengiriman atau pengangkutan tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus:

1. dilengkapi dengan sertifikat kesehatan tumbuhan dan satwa dari instansi yang berwenang;
2. dilakukan sesuai dengan persyaratan teknis yang berlaku.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengiriman atau pengangkutan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.

BAB VII
SATWA YANG MEMBAHAYAKAN KEHIDUPAN MANUSIA

Pasal 26

(1) Satwa yang karena suatu sebab keluar dari habitatnya dan membahayakan kehidupan manusia, harus digiring atau ditangkap dalam keadaan hidup untuk dikembalikan ke habitatnya atau apabila tidak memungkinkan untuk dilepaskan kembali ke habitatnya, satwa dimaksud dikirim ke Lembaga Konservasi untuk dipelihara.

(2) Apabila cara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat dilaksanakan, maka satwa yang mengancam jiwa manusia secara langsung dapat dibunuh.

(3) Penangkapan atau pembunuhan satwa yang dilindungi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh petugas yang berwenang.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai petugas dan perlakuan terhadap satwa yang membahayakan kehidupan manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.

BAB VIII
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN

Pasal 27

(1) Dalam rangka pengawetan tumbuhan dan satwa, dilakukan melalui pengawasan dan pengendalian.

(2) Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang berwenang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan melalui tindakan:

1. preventif; dan
2. represif.

(4) Tindakan preventif sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a meliputi:

1. penyuluhan;
2. pelatihan penegakan hukum bagi aparat-aparat penegak hukum;
3. penerbitan buku-buku manual identifikasi jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi dan yang tidak dilindungi.

(5) Tindakan represif sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf b meliputi tindakan penegakan hukum terhadap dugaan adanya tindakan hukum terhadap usaha pengawetan jenis tumbuhan dan satwa.

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 28

Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, maka segala peraturan pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa yang telah ada sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dicabut atau diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 29

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 27 Januari 1999

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 27 Januari 1999

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
AKBAR TANDJUNG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1999 NOMOR 14

Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan I
ttd
Lambock V. Nahattands

Harimau Sumatera Semakin Langka


Harimau Sumatra atau dalam bahasa latin disebut Panthera tigris sumatrae merupakan satu dari lima subspisies harimau (Panthera tigris) di dunia yang masih bertahan hidup. Harimau Sumatera termasuk satwa langka yang juga merupakan satu-satunya sub-spisies harimau yang masih dipunyai Indonesia setelah dua saudaranya Harimau Bali (Panthera tigris balica) dan Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) dinyatakan punah.

Hewan dari filum Chordata ini hanya dapat diketemukan di Pulau Sumatera, Indonesia. Populasinya di alam liar diperkirakan tinggal 400–500 ekor. Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) semakin langka dan dikategorikan sebagai satwa yang terancam punah.

Asal usul

Harimau dipercaya merupakan keturunan hewan pemangsa zaman purba yang dikenal sebagai Miacids. Miacids hidup pada akhir zaman Cretaceous kira-kira 70-65 juta tahun yang lalu semasa zaman dinosaurus di Asia Barat (Andrew Kitchener, “The Natural History of Wild Cats”). Harimau kemudian berkembang di kawasan timur Asia di China dan Siberia sebelum berpecah dua, salah satunya bergerak ke arah hutan Asia Tengah di barat dan barat daya menjadi harimau Caspian. Sebagian lagi bergerak dari Asia Tengah ke arah kawasan pergunungan barat, dan seterusnya ke Asia tenggara dan kepulauan Indonesia, sebagiannya lagi terus bergerak ke barat hingga ke India (Hemmer,1987).

Harimau Sumatera dipercaya terasing ketika permukaan air laut meningkat pada 6.000 hingga 12.000 tahun silam. Uji genetik mutakhir telah mengungkapkan tanda-tanda genetik yang unik, yang menandakan bahwa subspesies ini mempunyai ciri-ciri yang berbeda dengan subspisies harimau lainnya dan sangat mungkin berkembang menjadi spesies terpisah, bila berhasil lestari.

Perlu diketahui, terdapat 8 subspisies harimau yang tiga diantaranya telah dinyatakan punah. Kedelapan subspisies harimau tersebut adalah:

1. Harimau Indochina (Panthera tigris corbetti) terdapat di Malaysia, Kamboja, China, Laos, Myanmar, Thailand, dan Vietnam.

2. Harimau Bengal (Panthera tigris tigris) Bangladesh, Bhutan, China, India, dan Nepal.
3. Harimau Cina Selatan (Panthera tigris amoyensis) China.
4. Harimau Siberia (Panthera tigris altaica) dikenal juga sebagai Amur, Ussuri, Harimau Timur Laut China, atau harimau Manchuria. Terdapat di China, Korea Utara, dan Asia Tengah di Rusia.
5. Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) terdapat hanya di pulau Sumatera, Indonesia.
6. Harimau Caspian (Panthera tigris virgata) telah punah sekitar tahun 1950an. Harimau Caspian ini terdapat di Afganistan, Iran, Mongolia, Turki, dan Rusia.
7. Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) telah punah sekitar tahun 1972. Harimau Jawa terdapat di pulau Jawa, Indonesia.
8. Harimau Bali (Panthera tigris balica) yang telah punah sekitar tahun 1937. Harimau Bali terdapat di pulau Bali, Indonesia.

Ciri-ciri dan Habitat

Harimau Sumatra adalah subspesies harimau terkecil. Harimau Sumatera mempunyai warna paling gelap diantara semua subspesies harimau lainnya, pola hitamnya berukuran lebar dan jaraknya rapat bahkan terkadang dempet.

Harimau-Sumatera2Harimau Sumatra jantan memiliki panjang rata-rata 92 inci dari kepala hingga ke ekor dengan berat 300 pound. Betinanya rata-rata memiliki panjang 78 inci dan berat 200 pound. Belang harimau sumatra lebih tipis daripada subspesies harimau lain. Subspesies ini juga punya lebih banyak janggut serta surai dibandingkan subspesies lain, terutama harimau jantan.

Ukurannya yang kecil memudahkannya menjelajahi rimba. Terdapat selaput di sela-sela jarinya yang menjadikan mereka mampu berenang cepat. Harimau ini diketahui menyudutkan mangsanya ke air, terutama bila binatang buruan tersebut lambat berenang. Bulunya berubah warna menjadi hijau gelap ketika melahirkan.

Harimau Sumatra hanya ditemukan di pulau Sumatra. Kucing langka ini mampu hidup di manapun, dari hutan dataran rendah sampai hutan pegunungan, dan tinggal di banyak tempat yang tak terlindungi.

Makanan harimau sumatra tergantung tempat tinggalnya dan seberapa berlimpah mangsanya. Harimau sumatra merupakan hewan soliter yang berburu di malam hari. Kucing ini mengintai mangsanya dengan sabar sebelum menyerang dari belakang atau samping. Mereka memakan apapun yang dapat ditangkap, umumnya celeng dan rusa, dan terkadang unggas,ikan, dan Orangutan. Menurut penduduk setempat harimau sumatra juga gemar makan durian.

Harimau Sumatera juga mampu berenang dan memanjat pohon ketika memburu mangsa. Luas kawasan perburuan harimau Sumatera tidak diketahui dengan tepat, tetapi diperkirakan bahwa 4-5 ekor harimau Sumatera dewasa memerlukan kawasan jelajah seluas 100 kilometer.

Konservasi

Hingga sekarang diperkirakan hanya tersisa 400-500 ekor Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang masih bertahan di alam bebas. Selain itu terdapat sedikitnya 250 ekor Harimau Sumatera yang dipelihara di berbagai kebun binatang di seluruh penjuru dunia.

Pengrusakan habitat adalah ancaman terbesar terhadap populasi harimau sumatera saat ini. Pembalakan hutan tetap berlangsung bahkan di taman nasional yang seharusnya dilindungi. Tercatat 66 ekor harimau terbunuh antara tahun 1998 hingga 2000.

Dalam upaya penyelamatan harimau Sumatera dari kepunahan, Taman Safari Indonesia ditunjuk oleh 20 kebun binatang di dunia sebagai Pusat Penangkaran Harimau Sumatera, studbook keeper dan tempat penyimpanan sperma (Genome Rescue Bank) untuk harimau Sumatera.

Klasifikasi ilmiah

Kerajaan: Animalia; Filum: Chordata; Kelas: Mammalia; Ordo: Carnivora; Famili: Felidae; Genus: Panthera; Spesies: Panthera tigris; Upaspesies: Panthera tigris sumatrae. Nama trinomial: Panthera tigris sumatrae (Pocock, 1929).

Kategori Status Konservasi IUCN Red List

Kategori Status Konservasi IUCN Red List

Kategori Status konservasi IUCN Red List merupakan kategori yang digunakan oleh IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources) dalam melakukan klasifikasi terhadap spesies-spesies berbagai makhluk hidup yang terancam kepunahan. Dari status konservasi ini kemudian IUCN mengeluarkan IUCN Red List of Threatened Species atau disingkat IUCN Red List, yaitu daftar status kelangkaan suatu spesies.

Kategori status konservasi dalam IUCN Red List pertama kali dikeluarkan pada tahun 1984. Sampai kini daftar ini merupakan panduan paling berpengaruh mengenai status konservasi keanekaragaman hayati.

IUCN Red List menetapkan kriteria untuk mengevaluasi status kelangkaan suatu spesies. Kriteria ini relevan untuk semua spesies di seluruh dunia. Tujuannya adalah untuk memperingatkan betapa pentingnya masalah konservasi kepada publik dan pembuat kebijakan untuk menolong komunitas internasional dalam memperbaiki status kelangkaan spesies.

IUCN akan memperbaiki dan mengevaluasi status setiap spesies lima tahun sekali jika memungkinkan, atau setidaknya sepuluh tahun sekali. Dan sejak pertama kali dikeluarkan status konservasi IUCN telah mengalami beberapa kali revisi, yaitu:

* Versi 1.0: Mace and Lande (1991). Dokumen pertama yang mendiskusikan aturan baru untuk klasifikasi.
* Versi 2.0: Mace et al. (1992). Revisi besar terhadap versi 1.0.
* Versi 2.1: IUCN (1993).
* Versi 2.2: Mace and Stuart (1994)
* Versi 2.3: IUCN (1994).
* Versi 3.0: IUCN/SSC Criteria Review Working Group (1999)
* Versi 3.1: IUCN (2001).

Kategori Status Konservasi dalam IUCN Redlist. Kategori konservasi berdasarkan IUCN Redlist versi 3.1 meliputi Extinct (EX; Punah); Extinct in the Wild (EW; Punah Di Alam Liar); Critically Endangered (CR; Kritis), Endangered (EN; Genting atau Terancam), Vulnerable (VU; Rentan), Near Threatened (NT; Hampir Terancam), Least Concern (LC; Berisiko Rendah), Data Deficient (DD; Informasi Kurang), dan Not Evaluated (NE; Belum dievaluasi).

  1. Extinct (EX; Punah) adalah status konservasi yag diberikan kepada spesies yang terbukti (tidak ada keraguan lagi) bahwa individu terakhir spesies tersebut sudah mati. Dalam IUCN Redlist tercatat 723 hewan dan 86 tumbuhan yang berstatus Punah. Contoh satwa Indonesia yang telah punah diantaranya adalah; Harimau Jawa dan Harimau Bali.
  2. Extinct in the Wild (EW; Punah Di Alam Liar) adalah status konservasi yang diberikan kepada spesies yang hanya diketahui berada di tempat penangkaran atau di luar habitat alami mereka. Dalam IUCN Redlist tercatat 38 hewan dan 28 tumbuhan yang berstatus Extinct in the Wild.
  3. Critically Endangered (CR; Kritis) adalah status konservasi yang diberikan kepada spesies yang menghadapi risiko kepunahan di waktu dekat. Dalam IUCN Redlist tercatat 1.742 hewan dan 1.577 tumbuhan yang berstatus Kritis. Contoh satwa Indonesia yang berstatus kritis antara lain; Harimau Sumatra, Badak Jawa, Badak Sumatera, Jalak Bali, Orangutan Sumatera, Elang Jawa, Trulek Jawa, Rusa Bawean.
  4. Endangered (EN; Genting atau Terancam) adalah status konservasi yang diberikan kepada spesies yang sedang menghadapi risiko kepunahan di alam liar yang tinggi pada waktu yang akan datang. Dalam IUCN Redlist tercatat 2.573 hewan dan 2.316 tumbuhan yang berstatus Terancam. Contoh satwa Indonesia yang berstatus Terancam antara lain; Banteng, Anoa, Mentok Rimba, Maleo, Tapir, Trenggiling, Bekantan, dan Tarsius.
  5. Vulnerable (VU; Rentan) adalah status konservasi yang diberikan kepada spesies yang sedang menghadapi risiko kepunahan di alam liar pada waktu yang akan datang. Dalam IUCN Redlist tercatat 4.467 hewan dan 4.607 tumbuhan yang berstatus Rentan. Contoh satwa Indonesia yang berstatus Terancam antara lain; Kasuari, Merak Hijau, dan Kakak Tua Maluku.
  6. Near Threatened (NT; Hampir Terancam) adalah status konservasi yang diberikan kepada spesies yang mungkin berada dalam keadaan terancam atau mendekati terancam kepunahan, meski tidak masuk ke dalam status terancam. Dalam IUCN Redlist tercatat 2.574 hewan dan 1.076 tumbuhan yang berstatus Hampir Terancam. Contoh satwa Indonesia yang berstatus Terancam antara lain; Alap-alap Doria, Punai Sumba,
  7. Least Concern (LC; Berisiko Rendah) adalah kategori IUCN yang diberikan untuk spesies yang telah dievaluasi namun tidak masuk ke dalam kategori manapun. Dalam IUCN Redlist tercatat 17.535 hewan dan 1.488 tumbuhan yang berstatus Contoh satwa Indonesia yang berstatus Terancam antara lain; Ayam Hutan Merah, Ayam Hutan Hijau, dan Landak.
  8. Data Deficient (DD; Informasi Kurang), Sebuah takson dinyatakan “informasi kurang” ketika informasi yang ada kurang memadai untuk membuat perkiraan akan risiko kepunahannya berdasarkan distribusi dan status populasi. Dalam IUCN Redlist tercatat 5.813 hewan dan 735 tumbuhan yang berstatus Informasi kurang. Contoh satwa Indonesia yang berstatus Terancam antara lain; Punggok Papua, Todirhamphus nigrocyaneus,
  9. Not Evaluated (NE; Belum dievaluasi); Sebuah takson dinyatakan “belum dievaluasi” ketika tidak dievaluasi untuk kriteria-kriteria di atas. Contoh satwa Indonesia yang berstatus Terancam antara lain; Punggok Togian,

Kategori status konservasi berdasarkan UICN Red List setidaknya memberi gambaran kepada kita tentang kondisi populasi sebuah makhluk hidup. Kini tinggal kita; relakah jika daftar makhluk hidup dalam status konservasi IUCN itu akan semakin besar?

Tabel lengkap data satwa berdasarkan IUCN Red list dapat didownload di sini (hewan) dan di sini (tumbuhan).

Referensi: www.iucnredlist.org/apps/redlist/static/categories_criteria_3_1

Baca Juga:

* Daftar Hewan (Burung) Langka dan Terancam Punah
* Daftar Fauna Identitas Provinsi Di Indonesia
* Manusia, Khalifah Penjaga Kelestarian Alam
* Satwa Indonesia yang Telah Punah
* Satwa Indonesia yang Dilindungi
* Tema Hari Lingkungan Hidup Sedunia